Kasus Tanah Pasar Tradisional Mengambang


Kasus ini diduga melibatkan oknum-oknum di DPRK Aceh Tamiang serta Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang sebagai pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) melalui Kadisperindagkop.

Aceh Tamiang. BN

Bacaan Lainnya

Kasus dugaan korupsi sejumlah proyek bermasalah banyak terjadi di Kabupaten Aceh Tamiang. Hal ini dikarenakan adanya indikasi penyalahgunaan wewenang serta adanya dugaan mark up anggaran diawali adanya konspirasi kepentingan oknum-oknum di jajaran eksekutif maupun legislatif yang ada di Kabupaten Aceh Tamiang.

Kemudian, tidak adanya perencanaan yang matang dalam pembangunan dan terkesan asal-asalan serta tidak transparansinya asal anggaran, justru besar potensi timbulnya kerugian keuangan negara. Dengan adanya keanehan dan kejanggalan terutama diproses penganggaran, maka ini harus diusut tuntas.

Seperti kasus dugaan mark up lahan milik Suherli alias Asiong untuk lokasi pembangunan pasar tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang, diduga akan menyeret banyak oknum pejabat eksekutif beserta oknum pejabat legislatif di kabupaten setempat.

Nilai dugaan mark up cukup fantastis dimana harga lahan ditaksir tidak mencapai Rp 800 juta namun dianggarkan hingga angka Rp 2,5 miliar. Saat ini proses penyidikan masih berjalan, dalam proses penyidikan pihak Kejari Kuala Simpang, Aceh Tamiang.

Namun anaehnya sudah dua tahun kasus pengadaan tanah pasar tradisional APBK-P 2014 ditangani Kejari Kualasimpang hingga kini masih mengambang alias “jalan ditempat”.

Kasus yang sudah menjadi buah bibir masyarakat Aceh Tamiang terkait fantasis nilai harga tanah Rp 2,5 m dengan luas  9 x 95 M2 berlokasi di Desa Bukit Rata Kecamatan Kejuruan Muda diduga telah dilakukan mark up harga.

Mengambangnya kasus ini dapat dilihat, belum adanya peningkatan kasus dari penyelidikan hingga penyidikan, apalagi penuntutan dilimpahkan ke Pengadilan oleh Kejari Kualasimpang, padahal sejumlah pejabat yang tekait dalam pelaksanaan penganggaran, seperti Tim Anggaran Pemerintah Kabupaten (TAPK) telah diperiksa dimintai keterangan oleh Kejari dalam dua tahun terakhir ini.

Dan selanjutnya Kejari juga telah melakukan pemeriksaan Pimpinan Kolektif DPRK Aceh Tamiang beserta anggota Banggar DPRK priode 2009-2014, terbukti keluarnya Surat Gubernur Aceh nomor : 180 / 14417 tertanggal 16 Agustus 2016 yang intinya surat tersebut memberikan izin untuk diperiksanya Pimpinan DPRK dan Anggota Banggar yang terlibat pada lahirnya pembelian lahan Suheli “Asiong”.

Terkait masalah ini, Sulaiman Harahap, SH Kasipidsus ketika dikonfirmasi wartawan mengatakan kasus ini masih diranah pidana khusus. “Saat ini kasus dalam tahap penyidikan. Dan kita telah mengajukan permohonan ke Mappi (Lembaga penaksir harga tanah-red) di Jakarta” terang Sulaiman diruang kerjanya beberapa waktu lalu.

Selanjutnya, dirinya menjanjikan akan mempertemukan awak media di hari senin depan ini, guna mendapatkan keterangan sejauh mana kasus ini telah diproses Kejari. “Kita akan berikan keterangan bersama Kajari” ujar dia mengakhiri.

Terciumnya kasus tanah ini berawal dari sistim proses lahirnya anggaran di APBK-P 2014 Pengadaan Tanah Pasar Tradisional di Leading Sektor Diskoperindag yang diduga Mark Up harga dan melanggar prosedur dan mekanisme yang diamanatkan peraturan yang berlaku.

Padahal Pemkab Aceh Tamiang tidak perlu menganggarkan Pembangunan Pasar tradisional tersebut. Dikarenakan tidak urgen untuk kepentingan masyarakat, yang dibutuhkan saat itu pemanfaatan pasar yang ada untuk para pedagang. Seperti pemanfaatan Pasar Pusat Perbelanjaan Jaya Kota Kualasimpang dan Pasar Los di Desa Perdamaian serta Pasar Hongkong yang ketiganya telah menghabiskan uang negara tapi tidak difungsikan sebagaimana mestinya alias terbengkalai.

Seperti diketahui secara kronologis kasus ini diduga melibatkan oknum-oknum di DPRK Aceh Tamiang serta Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang sebagai pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) melalui Kadisperindagkop. Karena kasus ini dirasakan banyak kejanggalan dan penuh rekayasa sebab tidak pernah dibahas dalam rapat-rapat Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014. Hal ini diperkuat dari hasil konfirmasi wartawan dengan beberapa anggota Banggar yang terlibat saat itu.

Salah seorang anggota Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014, dari Partai Aceh (PA), Juniati menyampaikan bahwa seingat dirinya usulan ganti rugi lahan untuk pasar tradisional di Desa Minuran tidak pernah ada pembahasan di badan anggaran (banggar).

“Seingat saya, tidak ada dibahas di badan anggaran,” sebut Juniati singkat.

Hal yang sama juga disampaikan anggota Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014 lainnya, yakni Juanda dari Partai Amanat Nasional (PAN). “Seingat dirinya di Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014, tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang permasalahan ganti rugi lahan untuk pasar tradisional di Desa Minuran, Kecamatan Kejuruan Muda. Oleh karenanya, saat pencairan dana ganti rugi lahan tersebut, pada pertengahan bulan Desember 2014 kemarin, saya pribadi beserta banyak anggota Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014 lainnya, merasa sangat terkejut,” demikian terang Juanda.

Bukan hanya itu saja, saat sejumlah saksi dipanggil dan dimintai keterangan oleh pihak Kejaksaan Negeri Kuala Simpang, menyatakan keterangan yang hampir sama. Diantara mereka menyatakan tidak pernah tahu pembahasannya.

Ada enam anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014, telah dipanggil dan diperiksa. Yang pertama sekali dipanggil dan diperiksa oleh pihak Kejari Kuala Simpang yakni Arman dari PDIP, pada hari Rabu, 10 Juni 2015 lalu.

Dan pada hari Jum’at, 12 Juni 2015, kembali menyusul untuk dimintai keterangannya yakni lima anggota Banggar lainnya. Adapun kelima anggota Banggar tersebut, masing-masing T. Insyafudin (PKS), Hamdani (PA), Bukhari (PA), Marlina (PDA) dan Hermanto (PAN).

Sehingga dalam  kasus ini diharapkan Kejari yang telah diamanatkan Kejati Aceh dalam menangani kasus ini tidak hanya melihat dari kerugian negara yang dilakukan oleh Tim TAPK dan Banggar Legeslatif, namun harus juga melihat dari proses penyimpangan penganggaran yang tidak berimplementasi kepada Peraturan Mendagri sebagai acuan pedoman dalam proses penganggaran APBK-P.

Kalangan LSM Aceh juga menyampaikan rasa keprihatinannya terhadap sikap pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Kuala Simpang yang terkesan lamban dalam melakukan proses penyelidikan kasus ganti rugi lahan ini.  “Seharusnya pada saat ini, pihak Kejari Kuala Simpang sudah memunculkan nama-nama para tersangka kasus ganti rugi lahan untuk lokasi pasar tradisional di Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda,” ungkap salah seorang anggota LSM.

Hal senada juga disampaikan kalangan terpelajar sangat mengharapkan transparansi dan profesionalisme pihak Kejari Kuala Simpang. Apalagi kasus ini diduga melibatkan nama Sekda dan Ketua DPRK Aceh Tamiang yang notabene sebagai wakil rakyat Tamiang. Pematang juga meminta semua LSM, Ormas, Pemuda, Mahasiswa dan masyarakat tetap lantang mengawal kasus ini hingga tuntas. Sehingga jangan sampai ada pihak yang terbeli karena kelicikan dan bujuk rayu sang “Aktor” kasus yang dinilai merugikan uang negara ini. Sebagai mahasiswa, kami siap mengawal proses dan kelanjutan dari kasus ini.

“Kami tidak mau rakyat Aceh Tamiang menjadi yang paling dirugikan. Dengan adanya isu cuci tangan dari pihak-pihak yang terlibat dan bahkan ada indikasi aktor kasus tersebut akan mengorbankan orang lain atas kebusukan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab,” tegas mahasiswa  (ZH)

Pos terkait