PIN Sumut Sesalkan Pembubaran Pertunjukan Kuda Kepang

MEDAN | bongkarnews.com – Indonesia negeri indah nan kaya budaya, keberagaman suku bangsa, bahasa dan budaya merupakan kebangga anak negeri zamrud khatulistiwa ini.
Kita harus rawat kemajemukan yang ada di Nusantara. Tidak boleh ada yang merasa benar sendiri, main hakim sendiri dan melakukan pembubaran terhadap kegiatan pagelaran seni budaya suatu bangsa atau suku.
Setiap etnis, suku bangsa dan pemeluk agama berhak menjalankan kegiatannya menurut budaya, keyakinannya dan agamanya masing masing.
Pertunjukan kuda kepang atau jaran kepang budaya leluhur bangsa Indonesia, khususnya etnis Jawa, melarang pagelaran tersebut berarti melecehkan etnik tertentu. Masyarakat buat hiburan, terlepas dari keadaan pandemik saat ini. Tidak sepatutnya pembubaran dilakukan oleh ormas tertentu yang berbeda pandangan. Seharusnya kepilng tdk mengundang orgmas tertentu untuk pembubaran crowd atau kerumunan dimasa pandemik ini. Dia bisa kontak bhabinkamtibmas setempat. Atau melakukan negosiasi antropologi, sehingga tdk terkesan memaksakan kebenaran tunggal yang dianutnya. Kepling dan ormas tersebut bisa jadi telah terkontaminasi pemahaman salafi Wahabiy yang hobinya menyesatkan, mengkafirkan dan intoleran. Ungkap Ardian, Wakil Kabid.ITE PIN Sumut.
Kita sangat sesalkan peludahan terhadap Wanita saat pembubaran petunjukan jarang kepang, bersihkanlah rumah dengan sapu yang bersih. Tidak zamannya saat ini berdakwah dengan egosentris. Dakwah merangkul jangan memukul. Yang dilakukan oleh oknum laskar FUI sudah sangat tidak berakhlak, menghinakan budaya dan kaum wanita. Semua kita memiliki pemahaman beragama, hargai pendapat orang lain, untuk pelestarian budaya janganlah kita saling menghakimi, tambah Ardian.

PIN Gerakan dakwah yang turut merawat pelestarian budaya nusantara di dalam kehidupan umat Islam.

Bacaan Lainnya

Emil Hardi, Bendahara PIN Sumut menjelaskan;
“bahwa tari Kuda Lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda. Juga ada yang mengatakan ada hubungannya dengan tari Reog Ponorogo, dan Jaran Kepang dari Kediri dalam cerita Songgo Langit.

Krisnadi Yudhono, Kabid. Seni dan budaya PIN Sumut menjelaskan;
“Pakar budaya dan sejarah Nusantara, Agus Sunyoto menyatakan bahwa bahwa keseniann Kuda Kepang adalah kesenian yang lahir pada masa peralihan jaman Hindu ke Islam, di mana yang diketahui menggelar kesenian kuda kepang untuk dakwah yang pertama adalah Sunan Ngudung. Seni sejenis, di mana kuda kepang ditambah Reog, Bujangg Anong, Pentul, dan Tembem dikembangkan raja muslim Bathara Katong.

Semua kesenian itu untuk mengumpulkan orang untuk didakwahi agama Islam. Dengan demikian adalah tergesa-gesa jika dinyatakan bahwa kesenian kuda kepang dianggap seni syirik warisan agama bukan Islam. Menurutnya tradisi yang berkembang di masyarakat seperti jaran kepang, misalnya, selama dalam konteks tidak membawa kekufuran dan tidak membahayakan dirinya dan orang lain serta
melestarikan budaya dan adat istiadat (yang tidak bertentangan dengan hukum syara’) maka hukumnya diperbolehkan. Adapun jika ada yang tidak sesuai maka perlu kita edukasi bersama agar masyarakat dan generasi muda tidak menyalah artikan tradisi.

Zulkarnain, pembina PIN Sumut menegaskan; Parawali terdahulu ketika masuk dalam ranah masyarakat, diterapkan Fiqhud Dakwah, ajaran Islam diterapkan secara lentur, sesuai dengan kondisi masyarakat, dan dengan terus mengedukasinya. Dengan demikian para muballigh dan Wali Songo mengembangkan agama Islam dengan bertahap, berangsur-angsur (tadrijy).

Semoga dimasa yang akan datang jangan adalagi pembubaran pagelaran seni, jangan ada penistaan terhadap wanita dan kebudayaan etnis apapun di negeri yang terkenal pluralis, kita rawat kebhinekaan. Tingkatkan tasamuh, bila sesama umat beragama kita bisa ber-Lakum dinukum waliyadin, ( bagi kamu agamamu, bagiku agamaku) , paling tidak internal umat Islam kita bisa ber-lanaa a’maluna walakum a’maalukum, ( bagi kami amal perbuatan kami bagi kamu amal perbuatan kamu”, tutup Agus Rizal.

(Buya Ardha)

Pos terkait