Sangat menyedihkan lagi yang hadir setiap hari di gedung baru DPRD Sumut itu hanya sedikit, dan wajahnya itu ke itu saja. sama saja halnya ketika menggelar rapat banyak juga anggota dewan yang tak hadir
Medan,BN
Banyak dikalangan masyarakat menyorot atau mempertanyakan tentang peran dan fungsi atau kinerja DPRD, apakah dapat menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah sebagai wakil rakyat atau yang berkonotasi negative hanya sebagai symbol/stempel saja. Bentuk otonomi yang disuarakan tersebut menginginkan substansi yang lebih riil, mengandung makna pemberdayaan daerah yang sebenarnya.
Bergulirnya ketidakpuasa daerah terhadap pola pembangunan yang berlaku selama pemerintahan Orde baru, direspon oleh pemerintah transisi dengan ditetapkannya udang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Masyarakat di Daerah selama ini menilai bahwa undang-undang yang lama telah menguatkan dominasi pemerintah dibandingkan Pemerintahan Daerah, sehingga pemberian otonomi kepada daerah tidak dirasakan secara nyata.
Pernyataan di atas disampaikan Direktur Eksekutif Barisan Rakyat Pemantau Aparatur Korupsi (Barapaksi), Drs Otti S Batubara menyikapi persoalan hokum yang kini menjerat sebahagian besar anggota DPRD Sumut sehingga kinerja yang duhasilkanpun tidak memadai
“Diskursus tentang otonomi yang marak tentang pemberitaannya di media massa, telah menjadi semacam tuntutan yang cukup menantang dari berbagai daerah”, ujar Otti saat ditemui di kantornya ,Sabtu (3/9)
Dirinya menilai hasil penelitian menunjukkan pertama, DPRD Provinsi Sumatera Utara hingga saat ini belum menunjukkan suatu kinerja yang optimal dan berkualitas, dengan kata lain kinerja yang dihasilkan masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari indicator akuntabilitas, resvonsivitas dan efektifitas.
Kedua, Akuntabilitas, dari seberapa besar kegiatan DPRD dan kebijakannya telah sesuai dengan fungsi dan wewenangnya konsisten dengan kehendak masyarakat dan dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat masih jauh yang diharapkan. Dimana selama ini fungsi dan hak-hak DPRD yang ada selalu digunakan sebagai alat pemenuhan kesejahteraan anggota DPRD semata serta kepenitingan partai politik dari anggota DPRD tersebut.
Ketiga, responsivitas, ditinjau dari tingkat seberapa jauh anggota DPRD tanggap dan bisa memahami kondisi yang berkembang dan apa yang menjadi prioritas untuk ditangani sesuai dengan aspirasi masyarakat yang sedang berkembang. Tingkat responsivitas anggota DPRD dapat dikatakan baik, hal ini seringnya DPRD merespon pengaduan dan surat yang masuk atau mengadakan rapat kerja dengan Perangkat Daerah. Namun hal ini belum diimbangi dari banyaknya tuntutan/aspirasi masyarakat yang disampaikan kepada lembaga ini, baik dalam bentuk unjuk rasa, mengirim delegasi hinga meminta audensi dengan anggota DPRD.
Keempat, efektifitas, dilihat dari tujuan organisasi sebagai penyambung aspirasi masyarakat daerah dapat melaksanakan fungsinya serta memberikan pelayanan dari amanat fungsi yang diembannya. Hal ini dapat dilihat dari tingkat keefiktifan DPRD masih rendah, yaitu belum adanya action atau kebijakan DPRD dalam melaksanakan fungsinya, khususnya dalam fungsi legislasi dan pengawasan yaitu mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada pelaporan, karena DPRD memiliki wewenang untuk menentukan arah dan kebijaksanaan umum APBD serta dalam melaksanakan Peraturan Daerah.
“Bahkan peraturan daerah yang ada hanya merupakan hasil rancangan (inisiatif) dari pihak eksekutif dan LSM. DPRD hanya melakukan pembahasan dan memberikan persetujuan untuk diberlakukan. Hal ini dilakukan oleh anggota lembaga legislative daerah hanya sekedar untuk memenuhi amanat pasal 4 dari Keputusan DPRD Provinsi Sumatera Utara Nomor 27/KEP/Tahun 2000 tentang peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi Sumatera Utara”, ungkapnya.
Sementara itu keberadaan gedung baru DPRD Sumut yang dibangun berbiaya Rp 17.1 Milliar tak obah sebagai Plaza Demokrasi itu tak membuat anggota dewan Sumut juga bekerja dengan baik. Kinerja dewan sama seperti ketika berada di gedung yanglama. “Sangat menyedihkan lagi yang hadir setiap hari di gedung baru DPRD Sumut itu hanya sedikit, dan wajahnya itu ke itu saja. sama saja halnya ketika menggelar rapat banyak juga anggota dewan yang tak hadir,” ucapnya.
Dia juga menilai anggota dewan juga cenderung menyakitkan hati rakyat dengan meminta tunjangan dan kenaikan gaji di tengah kinerja dan disiplin yang dinilai cukup rendah.
Sisi lain yang menyedihkan rakyat adalah anggota dewan tidak bisa melepaskan diri sebagai anggota partai politiknya ketika membuat aturan-aturan, padahal setelah terpilih oleh rakyat, anggota dewan tidak lagi semata-mata untuk partai.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara (Sumut)pun kini terancam akan mengalami proses Pergantian Antar Waktu (PAW) secara massal. Pasalnya, jumlah anggota DPRD Sumut yang tersandung kasus hukum, terus terjadi secara bertahap dengan jumlah makin banyak.
Sejumlah pihak menyatakan, kemungkinan PAW massal itu akan segera terjadi. Apalagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menjerat anggota DPRD Sumut secara bertahap dan bergelombang.
Keyakinan sejumlah pihak akan adanya PAW massal di DPRD Sumut, juga mengingat adanya dugaan keterlibatan semua anggota dewan yang jumlahnya 100 orang dalam kasus-kasus yang tengah ditangani KPK dan Kejaksaan. Selain tersandung kasus suap mantan Gubsu Gatot Pudjonugroho atas pembatalan interplasi, persetujuan APBD/PAPBD, juga keterlibatan dalam penyelewengan dana Bantuan Sosial (Bansos).
Karena jumlah kasus yang menjeratnya beragam, maka sulit bagi dewan untuk lolos dari jeratan hukum. Jika lolos dari keterlibatan suap pembatalan interplasi, kemungkinan akan sangkut di suap persetujuan APBD/PAPBD, atau mungkin akan terjerat kasus penyelewengan dana Bansos.
“Sulit bagi anggota DPRD Sumut akan lolos dari jeratan hukum, jika pengusutan terus dilanjutkan. Lolos dalam satu kasus belum tentu lolos dikasus lain.Jika semuanya sudah kena, maka PAW missal menjadi pilihan yang tidak bias dihindari”, tuturnya mengakhiri.(ndo).