Khawatir Hidupkan Kembali Dwifungsi Militer, Koalisi Sipil Tolak RUU TNI

JAKARTA | BONGKARNEWS – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan melayangkan kritik keras terhadap pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dilakukan oleh Panitia Kerja (Panja) Revisi UU TNI dan pemerintah di Hotel Fairmont, Jakarta, selama dua hari terakhir. Mereka menilai pembahasan yang dilakukan secara tertutup di hotel mewah tersebut menunjukkan rendahnya komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik.
Dalam pernyataan sikap resmi yang diterima pada Sabtu (15/3) malam, koalisi sipil menyatakan penolakannya terhadap revisi UU TNI saat ini. Mereka khawatir agenda perubahan UU TNI berpotensi mengembalikan dwifungsi militer, seperti yang pernah dipraktikkan pada masa Orde Baru (Orba).
“Agenda revisi UU TNI justru akan melemahkan profesionalisme militer itu sendiri dan sangat berpotensi mengembalikan Dwifungsi TNI di mana militer aktif akan dapat menduduki jabatan-jabatan sipil,” demikian pernyataan koalisi sipil.
Koalisi sipil menilai perluasan penempatan TNI aktif di jabatan sipil tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan pembuatan kebijakan, serta loyalitas ganda.
Koalisi yang terdiri dari sejumlah organisasi dan kelompok masyarakat sipil, seperti Imparsial, YLBHI, Walhi, KontraS, Setara Institute, AJI Jakarta, dan BEM SI, menegaskan penolakannya terhadap draf RUU TNI maupun Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR. Mereka menilai draf dan DIM tersebut mengandung pasal-pasal bermasalah dan berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI serta militerisme di Indonesia.
Pada Sabtu, perwakilan koalisi sipil mendatangi Hotel Fairmont dan melakukan aksi di depan ruang tempat pembahasan RUU TNI. Mereka menilai pembahasan yang terkesan terburu-buru dan dilakukan di hotel mewah bintang lima pada akhir pekan ini menunjukkan pemerintah dan DPR tidak menghargai aspirasi rakyat.
“Di tengah sorotan publik terhadap revisi Undang-Undang TNI, Pemerintah dan DPR justru memilih membahas RUU ini secara tertutup di hotel mewah pada akhir pekan. Kami memandang langkah ini sebagai bentuk dari rendahnya komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan regulasi yang berdampak luas terhadap tata kelola pertahanan negara,” ujar mereka.
Mereka juga mengkritik langkah ini sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap efisiensi anggaran. Mereka menilai pemerintah dan DPR hanya “omon-omon” belaka dalam upaya efisiensi anggaran, sementara sektor-sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan justru mengalami pemotongan anggaran.
“Pemerintah Indonesia seperti tidak memiliki rasa malu dan hanya ‘omon-omon’ belaka di tengah upaya efisiensi anggaran, serta mendorong penghematan belanja negara, bahkan mengurangi alokasi dana untuk sektor-sektor penting, termasuk pendidikan dan kesehatan. Namun ironisnya, di saat yang sama, DPR dan pemerintah justru menggelar pembahasan RUU TNI di hotel mewah, yang tentunya menghabiskan anggaran negara dalam jumlah besar,” kata mereka.
Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menjelaskan bahwa pembahasan RUU TNI dilakukan di Hotel Fairmont karena kegiatan rapat yang sangat mendesak diperbolehkan dilakukan di luar Gedung DPR sesuai dengan Tata Tertib DPR Pasal 254. Ia juga mengklaim bahwa DPR mendapatkan penawaran harga khusus dan terjangkau dari pihak hotel.
Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, sebelumnya menyatakan bahwa pemerintah menargetkan RUU TNI dapat diselesaikan sebelum masa reses DPR pada 21 Maret. Ia menyebutkan empat poin pokok objek perubahan RUU TNI, yaitu penguatan dan modernisasi alutsista, memperjelas batasan penempatan TNI dalam tugas non-militer di lembaga sipil, peningkatan kesejahteraan prajurit, dan pengaturan batas usia pensiun TNI. Namun, revisi hanya akan menyasar tiga pasal, yaitu Pasal 3, Pasal 47, dan Pasal 53.

(CNNIndonesia)

Pos terkait