DAIRI | bongkarnews.com – Kordinator LPTI (Lembaga Perkumpulan Tipikor Indonesia), Vander S minta kepada Kejaksaan Negeri Dairi agar segera menindaklanjuti laporan pengaduan ke Kejaksaan terkait dugaan Gratifikasi dari salah satu Penerbit Buku terbitan Jakarta terhadap puluhan kepala SD dan SMP Negeri di Kabupaten Dairi.
Dimana pengadaan buku ini diantaranya menggunakan uang negara termasuk di antaranya Dana Operasional Sekolah (BOS).
“Temuan di Kabupaten Dairi Korupsi di sektor pengadaan buku pelajaran semakin merajalela, seakan-akan rabat yang diterima Kepsek sah ataupun legal (resmi) padahal rabat yang diterima Kepala Sekolah menyalahi aturan perundang-undangan. Rabat besar yang diterima Kepala Sekolah tidak hanya berdampak pada menurunnya kualitas buku tetapi juga berdampak pada mahalnya harga buku pelajaran (mark up). Diduga, salah satu penerbit Buku menawarkan fee (rabat) yang besar berkisar 30% sampai 40% kepada Kepala Sekolah” ujar Vander, Kamis (07/03/2024).
Sementara pengakuan Vander kepada wartawan media BN ini, ada sekitar 50 sekolah SD dan SMP yang dilaporkan ke Kejari Dairi. Sekolah sekolah tersebut diambil sampel 3 sampai 4 sekolah setiap kecamatan.
Menurut pengakuan nara sumber yang dipercaya bahwa buku-buku tersebut sudah ditampung pada penyusunan Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) untuk tahun berikutnya. Dimana oknum pejabat Dinas Pendidikan Dairi kordinasi dengan ketua MK2S SMP dan Ketua K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah) setiap kecamatan untuk membagi surat pesanan buku kepada Kepala Sekolah pada saat rapat yang dipimpin Ketua K3S.
Selanjutnya Ketua K3S maupun MK2S mengumpulkan Surat Pesanan buku tersebut setelah diisi dan ditanda tangani oleh kepala sekolah dan menyerahkan surat pesanan pada rekanan penerbit.
Sesuai dengan Permendikbud Juknis BOS, Kepala Dinas seharusnya ikut mengawasi penggunaan anggaran dana BOS yang dikelola oleh Kepala Sekolah namun realita dilapangan diduga kuat ikut mengintervensi dana BOS. mulai penyusunan RKAS BOS sampai pertanggungjawaban dana BOS.
Indonesia telah mengatur gratifikasi dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: “Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Dalam UU tersebut di Pasal 12B menyebutkan, bahwa gratifikasi yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Tidak main-main, penerima gratifikasi diancam hukuman penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dengan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp. 1 miliar.
Berdasarkan penjabaran Pasal 12B itu, para Kepala Sekolah tersebut telah terpenuhi dua unsur gratifikasi, yakni berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajibannya” jelasnya.
Vander menyampaikan terkait hubungan dengan jabatan artinya gratifikasi itu diberikan kepada Kepsek karena jabatannya. Dan jika bukan Kepsek mustahil rabat buku itu diterima.
Sementara pada frasa lainnya, berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai Guru. Terkait gratifikasi tersebut para Kepala Sekolah telah melanggar sumpah dan jabatan.
(Tim)