Jaman “Now” Tak Berlaku Bagi Kuda Lumping

JAMAN “Now” Begitulah kerap disebutkan orang jaman sekarang. Ada juga yang menyebut generasi milenia dengan bahasa dan gaya kekinian merambah hingga kesemua lini usia tua dan muda. Walau jaman telah berganti namun darah seni tak pernah hilang. Apalagi orang berseni memiliki jiwa periang, senang, awet muda. Benarkah?…

Pertanyaan-pertanyaan itu juga selalu terlontar di permukaan. Namun pastinya seseorang pecinta seni sulit menghilangkan asal usulnya. Dan salah satunya seni yang menghiasi negeri ini adalah Kuda Lumping alias Jaran Kepang.

Bacaan Lainnya

Seni berasal dari tanah Jawa tersebut telah mewabah hingga ke penjuru negeri. Tak hanya di Indonesia, bahkan aromanya semarak ke luar negeri. Mirisnya, penghasilan bagi pecinta seni Jaran Kepang, tak lah sepadan.

Padahal, para penari Jaran Kepang harus berlenggak-lenggok dengan irama seragam dengan lantunan musiknya. Sulit memang, tapi semuanya akan tercapai apabila ditekuni.

Seperti terungkap dari Penguyuban Jaran Kepang Putro Wisang Geni. Ditemui di rumah pimpinan sanggar bernama Manto di Jalan Pasar 2 Marelan, dia pun menyambut dengan penuh senyuman.

Tepat di hari Pahlawan itu pula, Sabtu (10/11), Ketua Forum Komunikasi Warga Jawa (FKWJ) Nusantara, Nurmahadi Darmawan SH melangkahkan kaki ke rumah Manto. Sapa pria tua itu mengungkap bahwa seni Jaran Kepang telah mendarah daging di dirinya.

Foto : Nurmahadi Darmawan SH, ketua FKWJ kota Medan.

Sebagai sepuh Penguyuban Jaran Kepang Putro Wisang Geni, Manto bercerita bahwa sanggar yang didirikannya sejak 1973. Sudah 45 tahun, Manto bergelut demi melestarikan budaya turun temurun yang berasal dari tanah Jawa itu.

“Sejak 1973 saya mendirikan paguyuban di Marelan ini. Dan sekarang sudah sekitar 50 orang anggota,” singkatnya bercerita.

Aku Manto, meski dirinya sudah tua, semangat ‘Jaran Kepang‘ tak pernah hilang. Walau sekarang ini menggema jaman “now”, pun Manto tetap pada pandirian memajukan dan mengenalkan seni Jaran Kepang di Sumut khususnya di kota Medan.

“Latihan kami rutin tiap malam Rabu. Nah, dengan latihan rutin membuat anggota lebih disiplin, lebih tahu gerak tari, ragam dan sebagainya,” tukas Manto.

Sementara Ketua FKWJ Nusantara, Nurmahadi Darmawan SH didampingi Witno dan Armen menyampaikan kebanggaan atas pelestarian budaya Jawa di tanah Sumatera. Karena salah satu upaya pembinaan generasi muda yang saat ini diketahui telah terjangkiti dengan bahaya narkoba.

“Dengan seni ini bisa menghilangkan atau lebih kepada nilai positifnya generasi muda menjauh dari narkoba,” ujar Nurmahadi Darmawan.

Dia pun berharap paguyuban yang digawangi sepuh Jarang Kepang, Manto tetap eksis tak lekang di makan jaman.

“Alhamdulilah peguyuban ini tetap eksis di marelan dan harus tetap kita bina bersama,” sahut Nurhadi Darmawan.

Sejarah singkat Kuda Lumping juga disebut Jaran Kepang atau Jathilan adalah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda.

Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu atau bahan lainnya yang di anyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda, dengan dihiasi rambut tiruan dari tali plastik atau sejenisnya yang di gelung atau di kepang. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna

Foto ilustrasi : Tarian Jaran Kepang (int)

Jaran Kepang merupakan bagian dari pagelaran tari reog. Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, Indonesia, tarian ini juga diwariskan oleh kaum Jawa yang menetap di Sumatera Utara dan di beberapa daerah di luar Indonesia seperti di Malaysia, Suriname, Hong Kong, Jepang dan Amerika.

Tidak satu pun catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Konon, tari Kuda Lumping adalah tari kesurupan. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari Kuda Lumping menggambarkan kisah seorang pasukan pemuda cantik bergelar Jathil penunggang kuda putih berambut emas, berekor emas, serta memiliki sayap emas yang membantu pertempuran kerajaan bantarangin melawan pasukan penunggang babi hutan dari kerajaan lodaya pada serial legenda reog abad ke 8.

Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari Kuda Lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri.

Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.

Seringkali dalam pertunjukan tari Kuda Lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain.

Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada zaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan penjajah.

Liputan : INDRAWAN/TERANG

Pos terkait